Curug Ngebul merupakan salah satu curug di Garut yang dahulnya tersembunyi kini menjadi populer dan menjadi salah satu curug yang wajib dikunjungi. Curug Ngebul dahulunya sempat dikenal dikalangan wisatawan Garut namun kembali menghilang karena tidak terwat dan akses jalan yang buruk. Curug Ngebul sekarang menjadi terkenal setalah banyak orang mengunjungi curug tersebut dan menggunngah foto jepretan selfie para pengunjung di Instagram. Curug Ngebul berada di Garut selatan tepatnya berada kampung Citilu desa Tanjung Jaya Kecamatan Banjarwangi.
|
|
Belum banyak yang tahu memang tentang keberadaan air terjun Ngebul ini karena memang tersembunyi dibalik hutan di belakang Kampung Citilu serta belum dikelola sebagai objek wisata. Meskipun demikian Dahulunya air terjun Ngebul sempat populer dan menjadi kunjungan objek wisata yang diminati masyarakat sekitar Kampung Citilu dan masyarakat sekitaran Cikajang. Menurut keterangan yang saya dapat dari Mang Odin Curug Ngebul dahulunya banyak dikunjungi sampai-sampai sehabis lebaran dan hari libur lainnya terutama hari Sabtu dan Minggu selalu ramai di kunjungi pengunjung.
Sejarah Penamann Curug Ngebul Dan Kampung Citilu
Setiap tempat memiliki sejarah. Sama halnya dengan curug-curug lainnya Curug Ngebul juga memiliki sejarah penamaan yang unik. Apabila Curug tersebut dilihat dari dasar, air terjun akan terlihat Ngebul (berkabut) seperti kepulan asap. Oleh karena itu kenapa curug ini disebut Curug Ngebul. Setelah dibuktikan oleh saya dengan melihatnya dari dasar air terjun, memang benar airnya terlihat seperti asap yang mengepul.
Pada tahun 1913 ada seseorang yang bernama Madhapi, Madhapi tinggal di salah satu kampung yaitu kampung Cihanjawar. Madhapi mempunyai keahlian menyadap pohon kawung (mengambil air nira pada pohon aren untuk kemudian dijadikan gula merah atau gula aren) dari keahliannya itu Madhapi bekerja sebagai tukang sadap.
Pada suatu hari, ketika Madhapi menjalankan kegiatan sehari-harinya yaitu menyadap pohon aren. Madhapi mulai bingung mencari pohon aren yang akan di sadap karena pohon aren di kampungnya itu sudah hampir semuanya ia sadap untuk diambil air nirnya. Kemudian Madhapi mencari ke sana kemari mencari pohon aren sampai akhirnya Madhapi tiba di suatu tempat yang berlembah yang banyak ditumbuhi pohon aren. Madhapi sangat senang menemukan tempat baru itu karena ia bisa menambah penghasilan dari menyadap. Madhapi mempunyai saudara laki-laki yang bernama al-Haif dan panggilan akrabnya adalah Mama Al-haif. Mama Al-haif bisa di katkan orang yang taat beribadah di kampung Cihanjawar atau di masa sekarang lebih trend dengan sebutan ustad. Kemudian setelah menemukan tempat tersebut Madhapi langsung bergegas pulang dan menceritakan soal tempat baru yang ditemukannya tadi siang kepada Mama Al-Haif. Esok harinya Madhapi Dan Mama Al-haif bergegas untuk mendatangi tempat yang banyak ditumbuhi pohon aren itu. Sesampainya ditempat itu semua peralatan untuk menyadappun dikeluarkan oleh keduanya dan langsung memanjati pohon aren satu persatu. hampir setiap hari Madhapi dan mama Al-Haif mengambil air nira ditempat itu. Kemudian kabar tentang keberadaan tempat itu pun meluas di kalangan tukang sadap sampai akhirnya diketahui oleh semua warga kampung Cihanjawar dan sebagian dari mereka memutuskan untuk bermukim dan menetap ditempat itu.
Pada suatu ketika Mama Al-haif hendak berangkat berziarah ke kota Cirebon ke makam Syekh Syarif Hidayatulloh untuk beberapa hari lamanya. Sepulang dari Cirebon Mama Al-Haif membawa sebuah kendi kecil yang berisikan air, kendi yang ditemukan di makam Syekh Syarif Hidayatulloh setelah sebelumnya ia bermimpi bertemu dengan Syekh Syarif Hidayatulloh dan beliau berkata kepada Mama Al-haif "sepulang dari sini bawalah air dalam kendi itu kemudian ditanamkan ditempat yang telah ditemukan saudaramu, tanamlah di bawah pohon pisang, tanamlah pada malam hari tepat pada tanggal 14 Mulud dan bertawasulah kepadanya untuk mendapatkan sumber matair baru". Setibanya di tempat yang banyak ditumbuhi pohon aren Mama al-Haif menjalankan semua perintah yang didapat dari mimpinya itu. Air dalam kendi itu ditanam di bawah pohon pisang di sebuah tempat dimana warga menyebutnya dengan sebutan Cisaladah. Malam itu tepat pada malam hari tanggal 14 Mulud Mama al-Haif pun bermunajat dan bertawasul kepada Allah S.W.T selama kurang lebih tujuh hari tujuh malam dengan harapan bisa muncul sumber mata air baru ditempat tersebut.
Atas rahmat Allah dengan syareatnya menanam air dibawah pohon pisang akhirnya setelah hampir satu minggu air pun mulai perlahan keluar dari sela-sela akar pohon pisang. Air yang keluar dari bawah pohon pisang itu terus mengeluarkan air yang jernih hingga lama kelamaan membentuk sebuah aliran sungai kecil yang alirannya mengalir ke dua sungai yang telah ada sebelumnya yaitu sungai Ciganggaong dan Sungai Patapaan. Sejak itulah sungai ditempat itu bertambah satu menjadi tiga aliran sungai, aliran ketiga sungai itu mengalir ke sunga yang lebih besar yaitu ke sungai Ciudian dan aliran dari sungai Ciudian mengalir jauh hingga ke kecamatan Singajaya.
Dengan bertambahnya satu sungai ditempat itu menjadi tiga sungai yaitu sungai Cigangaong, sungai Patapan dan sungai baru yang diberi nama sungai Cisaladah, akhirnya warga yang menetap di tempat itu dan waraga di kampung tetangga menyebut tempat itu dengan sebutan Citilu, Ci artinya cai atau dalam bahasa Indonesianya berati air dan tilu artinya tiga, nah mungkin dari kejadian itulah kampung tersebut disebut dan dikenal dengan sebutan kampung Citilu. Kemudian selanjutnya kenapa air dalam kendi itu ditanam di Cisaladah karena pada masa iitu di Cisaladah banyak ditumbuhi tanaman air yaitu Saladah. Saladah adalah sejenis tanaman air yang biasa dikonsumsi dengan sambal atau lebih dikenal dengan lalapan. Dari kejadian itu setiap malam 14 mulud para warga memperingatinya dengan mandi di sungai Cisaladah. akan tetapi kebiasan tersebut mulai jarang bahkan sekarang sudah tidak dilakukan oleh para warga kampung Citilu karena para sesepuh dan orang tua yang terdahulu yang biasa melakukan kegiatan mandi pada malam tanggal 14 Mulud di sungai Cisaladah telah tiada oleh karena itu kebiasaan mandi pun sudah tidak dilakukan lagi oleh warga kampung Citilu sampai saat ini.
Menurut Mang Odin salah satu warga kampung Citilu yang mengantar saya ke tempat air terjun berada, beliau mengatakan " kapungkur mah jang seueur pisan anu ngadon arameng ka curug Ngebul teh,ngan tos hampir dua tahun katukang ieu mah ieu curug teh tos jarang aya nu arameng ka curug Ngebul teh" Tutur si Mang Odin dengan logat bahsa sundanya yang khas. ("dahulu memang banyak pengunjung yang datang ke air terjun Ngebul, tapi dua tahun terakhir kebelakang sudah jarang pengunjung yang datang")
Bukan kayaknya lagi ini mah tapi harus. Harus adanya perhatian dari semua pihak agar air terjun Ngebul bisa seperti dulu lagi dan tidak terbengkalai begitu saja seperti saat ini, bila diingat dulu banyak sekali orang yang berkunjung ke Curug Ngebul. Ini menurut saya, dan mungkin menurut orang yang pernah berkunjung ke air terjun Ngebul pasti mempunyai harapan yang sama yaitu harus ada perhatian khusus dari pemerintah setempat dan masyarakat kampung Citilu itu sendiri. "Abdi miharep ieu Curug Ggebul teh tiasa siga kapungkur deui". ("saya berharap semoga air terjun Ngebul bisa seperti dahulu lagi") tutur si Mang Odin!.
Setelah Sempat Populer Kemudian Sepi Pengunjung, Kini Curug Ngebul Terpopulerkan Kembali
Curug Ngebul sejak dahulu tidak terawat hingga sekarang jalannya pun sulit untuk dilalui karena banyak ditumbuhi tanaman semak belukar. Air terjun yang memilik tinnggi kurang lebih 12 meter ini dulunya sangat terbengkalai dan dibiarkan begitu saja tanpa ada yang mau merawat serta memelihara curug tersebut, padahal jika dilihat dari segi wisata Curug Ggebul sangat berpotensi untuk dijadikan objek wisata khusunya untuk objek wisata alam di Garut.
Kecamatan Banjarwangi merupakan daerah perbukitan. Hal ini bisa dilihat dari pintu masuk di daerah Lawang Angin, Desa Tanjungjaya. Kita dapat melihat landscape Kecamatan Banjarwangi bagian timur. Sedangkan landscape Banjarwangi sebelah barat bisa kita lihat dari daerah Cidatar Desa Bojong atau dari puncak Gunung Jampang Desa Jayabakti. Kerinduan warga Banjarwangi terhadap tempat rekreasi yang sudah lama terpendam, pecah dengan adanya Curug Ngebul. Meskipun baru dibuka dan sedang tahap pembenahan lokasi, wisata Curug Ngebul sudah diserbu wisatawan lokal yang merasa penasaran ingin melihat keindahan yang ditawarkan Curug Ngebul. Keindahan Curug Ngebul juga memikat hati para wisatawan dari luar Kabupaten Garut karena curug tersebut bisa dikatakan curug yang masih perawan.
Curug Ngebul terdiri dari dua tahap yaitu air terjun pertama yang tingginya kurang lebih 30 meter yang ditampung dalam kolam pertama kemudian air terjun kedua dengan tinggi lima meter yang ditampung lagi dikolam kedua yang selanjutnya mengalir melalui sungai kecil ke hilir. Suasana alam disekitar objek wiata ini benar-benar masih asri ditambah dengan adanya pemandangan air terjun serta kelengkapan lainnya yang kini telah dilengkapi menjadi lokasi yang eksotic untuk menikmati suasana sejuk nan asri dataran tinggi, bahkan untuk camping sekalipun akan sangat menyenangkan.
Fasilitas Di Curug Ngebul
Ada beberap fasilitas seperti tempat parkir, warung makanan, shelter, toilet dan mushola dengan bangunan tradisional terbuat dari bambu dan kayu serta atapnya dari injuk Pohon aren yang dibangun disekitar kawasan Curug Ngebul.
Cara Agar Bisa Sampai Di Curug Ngebul
Dari JABOTABEK, Ciamis dan Tasikmalaya naik Angkuan umum baim itu Buss atau ELf dengan tujuan Terminal Guntur Garut. Untuk menuju air terjun Ngebul ini memerlukan waktu satu jam setengah dengan menggunakan kendaraan umum dari terminal Ciawitali GarutCikajang, Pameungpeuk, Singajaya atau jurusan Cihurip.
Untuk Anda yang menggunakan kendaraan pribadi, tujuan awal yang harus dituju adalah Perempatan Maktal. Dari Maktal Ambil jalan yang menuju Garut Selatan ke arah Bayongbong Cisurupan.Jalan terus mengikuti jalan raya hingga melewati pasar Cikajang kemudian sampai di pertigaan Cigugur. Belok kiri menuju Batu Tumpang dengan melintasi jalan perkebunan teh hingga melewati Batu Tumpang.
Dari jalan raya Cikajang setelah melewati Tebing Patapaan dan sekolah dasar belok kiri masuk jalan kecil menuju Kampung Citilu. Untuk yang membawa mobil sebaiknya di parkir di jalan raya jangan di bawa masuk karena jalannya kurang bagus. Mobil bisa dititpkan diwarung dekat pertigaan menuju Jalan Kampung Citilu. Bagi anda yang tidak membawa kendaraan sendiri bisa berjalan kaki dengan jarak tempuh satu kilometer dengan melewati hutan pinus dengan jalan bebatuan yang belum diaspal. Disepanjang jalan menuju Curug Ngebul sudah dipasang beberpa petunjuk arah. Untuk yang menggunakan motor bisa dibawa hingga Kampung Citilu dan diparkir di kampung tersebut. Setelah tiba di Kampung Citilu anda tinggal langsung saja minta di antar kepada warga Kampung Citilu.
Labels: Garut, Info Wisata, Jawa Barat