Berjelajah Dengan Waktu di Taipei

Dua dekade lalu, begitu lulus dari universitas, saya menginjakkan kaki di Asia untuk pertama kalinya. Tepatnya, di kota metropolitan yang sibuk: Taipei. Pada akhir tahun 90-an, Taipei bukanlah kota yang menjadikan perkenalan saya dengan Asia terasa menakjubkan. Kota ini kotor dan padat; mencekik dengan polusi dan kemacetan. Hampir tiga bulan saya mengerjakan proyek untuk sebuah perusahaan supermarket Hong Kong di sana. Dan begitu proyek tersebut selesai, dengan senang hati saya melompat ke dalam pesawat menuju Hong Kong, meninggalkan Taipei.

Meski hanya sedikit yang bisa saya sukai dari Taipei, saya akui bahwa saya juga memiliki kenangan indah di sana. Makanan jelas berada di puncak daftar kenangan saya mengenai kota ini. Orang-orangnya pun begitu ramah. Saya dan kawan saya, Scott, merasakannya ketika kami membonceng dari Taipei hingga ke Kaohsiung, di puncak utara Taiwan. Belum lagi pasar malam di Taiwan yang terkenal; satu-satunya tempat hiburan yang bisa saya sambangi saat baru lulus kuliah, dengan kantong yang sedang kering.

Kota perbukitan Maokong adalah versi Puncak Pass untuk Taipei, menawarkan perkebunan teh yang luas, kafe, dan banyak pilihan makanan lezat.

Sejak saat itu, selama hampir 20 tahun, tak pernah terlintas dalam benak saya untuk kembali ke Taipei. Namun, beberapa kawan yang saya jumpai dan baru saja datang dari Taipei, berkisah dengan begitu bersemangat tentang keadaan Taipei yang sudah jauh berubah. Kisah-kisah mereka mengusik rasa penasaran saya. Sepertinya menarik untuk kembali ke Taipei; untuk mengetahui bagaimana saya melihat Taipei yang sekarang jika dibandingkan dengan Taipei yang panas dan lembap pada Juli beberapa tahun lalu; ketika saya menjejakkan kaki di Asia untuk yang pertama kali.

Maka, saya dan istri memutuskan untuk menghabiskan liburan Natal dengan anak kami yang berusia 2 tahun, Liam, secara tidak konvensional. Ya, kami memutuskan untuk mampir di Hong Kong, Singapura, atau Jepang untuk kemudian bertolak ke Taipei. Saya telah mengumpulkan mileage Cathay Pacific (berkat Ibu dan Ayah yang tinggal begitu jauh!), dan berhubung setumpuk mileage ini hampir kedaluwarsa, liburan kali ini merupakan waktu yang sempurna untuk menggunakannya! Maka, dengan memanfaatkan mileage itu, tiket kami yang awalnya seharga 800 dolar bisa dipangkas menjadi 251 dolar per orang saja.

Belakangan ini, banyak perencanaan perjalanan yang bisa kita lakukan dari jauh dengan menggunakan kartu kredit. Untuk mencari tempat tinggal, kami biasa mengunjungi situs-situs seperti TripAdvisor, Booking.com, bahkan Pinterest. Wikitravel juga salah satu sumber informasi yang kerap kami jadikan referensi.

Dalam perjalanan ini, ketika kami memutuskan pergi ke timur kota Hualien untuk melihat Jeram Taroko dengan menumpang kereta (Liam sangat suka kereta api), kami pun memesan tiketnya menggunakan kartu kredit. Tempat tinggal juga kami pesan secara online melalui jasa penyedia akomodasi Airbnb. Tak lupa, untuk ‘menjelajah waktu’ dengan rute yang tepat, saya juga membawa jurnal yang saya tulis beberapa tahun lalu—berisi catatan perjalanan dan pemikiran-pemikiran saya saat menjejakkan kaki di Asia untuk pertama kalinya.

Ximending adalah salah satu area paling ramai di Taipei sewaktu malam--tempat di mana semua orang di Taipei berkumpul untuk mencoba jajanan lezat dan berbelanja.

Begitu mendarat di Bandara Internasional Taoyuan (dulu dinamakan Bandara Chiang Kai-Shek, hingga saya rasa orang-orang akhirnya menyadari bahwa Chiang Kai-Sek bukanlah lelaki yang sedemikian baiknya), kami langsung menuju Ximending salah satu area paling ramai di Taipei pada waktu malam.

Pertama kali berkunjung ke sini, saya masih seorang mahasiswa miskin. Pasar malam adalah satu-satunya hiburan malam paling terjangkau yang bisa saya sambangi. Tak ada yang bisa mengalahkan kesenangan ‘cari angin’ pada malam yang panas dan lembap dengan menikmati es serut yang dihiasi buah-buahan, permen, kacang merah, juga singkong, gula, dan santan di atasnya atau untuk sekadar minum susu pepaya di pinggir jalan. Ximending membawa kembali ingatan saya akan masa itu. Area ini begitu gegap-gempita dengan orang-orang yang berjualan di toko-toko kecil mereka, pedagang yang menjual kacang kupas dan kelapa, es krim ubi dan omelet tiram, juga mainan-mainan kecil, telepon, dan beragam aksesoris.
Ximending Taipei
Ximending juga terkenal akan restoran Modern Toilet-nya. Makanan di restoran ini disajikan di piring berbentuk wastafel dan toilet. Dan es krim cokelat, tentunya akan disajikan di dalam ‘mangkuk toilet’ spesial untuk hidangan penutup. Yah, silakan bayangkan sendiri seperti apa bentuknya.

Nasi campur ala Taiwan ini adalah cara yang menyenangkan untuk mencoba berbagai variasi makanan Taiwan dengan harga yang terjangkau.

Hari berikutnya menjadi highlight dalam perjalanan kami. Kami menjelajahi bagian Selatan Taipei untuk mengunjungi kebun binatang Taipei dan Maokong. Sebelumnya, saya tak pernah berani menyambangi bagian kota ini, karena biasanya, perjalanan akan memakan waktu beberapa jam di tengah kemacetan Taipei. Namun dengan adanya sistem subway yang baru, untuk mencapainya kini hanya dibutuhkan waktu 15 menit. Kebun binatang Taipei terletak tepat di kaki gunung yang mengelilingi kota di bagian Selatan. Dengan dua dolar saja—penawaran yang luar biasa—kita bisa melihat panda, gajah, kuda nil, dan masih banyak lagi. Tamannya pun begitu hijau, terawat, dan tertata rapi.

Kami pun menaiki tram kecil mengelilingi taman, lalu turun di stasiun cable car (kereta gantung) menuju Maokong. Bahkan ketika saya tinggal di Taipei, saya tak tahu bahwa tempat ini ada. Tak banyak orang yang mengira bahwa Taiwan memiliki sebagian dari teh-teh terbaik di dunia, terutama oolong. Lebih serunya lagi, untuk menuju salah satu areal perkebunan teh paling besar di Taiwan, kita hanya perlu naik cable car bertema Hello Kitty dari kebun binatang Taipei ke daerah pedesaan Maokong.
Cable Car Taipei
Area pegunungan yang sejuk ini adalah salah satu tempat yang wajib dikunjungi di Taipei sebuah dunia kecil yang jauh dari kesibukan dan kebisingan kota yang terhampar di kakinya. Maokong dipenuhi kedai-kedai teh di puncak gunung, tempat kami kemudian menikmati seteko hangat teh Tie Guan Yin yang paling terkenal di daerah ini, juga mencicipi beragam makanan dengan rasa teh yang masih disiapkan dengan cara tradisional. Tentu, semua ini dilakukan seraya menikmati pemandangan indah. Liam bukan penggemar teh, tapi ia senang bisa menaiki cable car dan minibus yang memadati area ini berkali-kali.

Hari berikutnya, saya mengunjungi apartemen pertama saya di Asia, di area Zhangshou. Dulu, tempat ini begitu padat, sesak dengan manusia dan sepeda motor. Namun, hari itu lagi-lagi saya terkejut betapa banyak yang telah berubah di Taipei berkat jalur subway yang baru. Kemacetan dan kebisingan yang saya kenal itu sudah nyaris hilang, demikian juga sepeda-sepeda motor. Selagi melangkah menuju apartemen lama saya, yang terletak di sebuah gang di belakang toko Fossil, saya melihat bahwa gedung lama itu masih berdiri di sana; namun dengan dikelilingi jajaran toko pakaian bergaya yang memajang karya-karya para perancang lokal.

Ketika masih tinggal di lokasi ini, tak banyak hiburan yang bisa saya dapatkan dari daerah sekitar. Saya justru sering main-main di 7-Eleven, yang hingga saat ini masih berdiri juga di sana. 7-Eleven di Taipei hampir selalu punya makanan khas mereka sendiri; mulai dari telur yang direbus dalam teh, hingga berbagai bakpau lezat dan mie instan (merk President di Taipei adalah seperti Indomie di Indonesia). Mereka juga menawarkan pilihan minuman kemasan paling mengesankan di dunia, mulai dari bubble tea, susu pepaya, minuman beras merah, dan susu kedelai.

Demi menghindari daging babi, saya pun mulai menyantap makanan vegetarian ketika tinggal di Taipei sebuah kebiasan yang masih bertahan hingga kini. Saya menghabiskan banyak waktu untuk mencari kantin-kantin vegetarian terbaik di Taipei yang harga makanannya ditentukan dengan menimbang seberapa berat piring kita, dan bubble tea disajikan secara gratis. Semuanya di bawah tiga dolar saja. Kini, kantin-kantin itu tampak lebih baik; dan harga makanannya pun belum naik terlalu jauh. Masih banyak sekali kantin-kantin yang menawarkan nasi campur versi Taiwan, baik untuk para vegetarian maupun karnivora.

Pagi terakhir di Taipei, saya berjalan melintasi salah satu rute favorit saya untuk berangkat kerja dulu: melewati pasar pagi Wuxing, tak jauh dari World Trade Centre. Tak banyak yang berubah. Kita masih bisa melihat kepala-kepala babi yang tergantung dari kaitannya, penjual sayuran di pinggir jalan yang berbagi ruang dengan para penjual roti, pancake goreng, sup, aneka kukusan (dumplings), cakue, kwetiau, bahkan ada juga roti cane paling besar yang bisa kita makan! Setelah mencari-cari sebentar, akhirnya pagi itu saya menemukan gedung kantor lama saya. Supermarket perusahaan kami yang dulu itu kini sudah digantikan oleh sebuah supermarket Jepang.

Selagi mengingat malam terakhir saya di Taipei bertahun-tahun lalu, saya tak bisa memungkiri, bahwa jika saya datang ke Taipei untuk yang pertama kali pada 2015 dan bukan pada akhir tahun 90an, mungkin saya tak akan pernah meninggalkan kota ini. Tak pernah saya bayangkan bahwa kota yang saya kenal bertahun-tahun lalu sebagai kota yang bau, padat, dan menyesakkan, akan bertransformasi menjadi tempat yang luar biasa hidup dan menjanjikan. Dari semua perjalanan yang pernah saya lakukan, hanya beberapa di antaranya yang membuat saya sungguh-sungguh merasakan betapa travel never felt so good. Taipei adalah salah satunya.

Tips menukar uang di Taiwan.
Tak banyak orang yang tahu bahwa tak terlalu mudah untuk menukar uang di Taiwan. Selain di bandara, praktis tak ada lagi money changer di kota. Jadi, untuk menukar uang, Anda harus melakukannya pada jam-jam operasional bank, lewat proses yang lumayan panjang (jangan lupa membawa paspor!). Ketika saya harus menukar uang 200 dolar, prosesnya memakan waktu lumayan lama hingga staf mereka bahkan sempat menyuguhkan teh untuk saya selagi menunggu. Inilah mengapa menggunakan kartu kredit atau menarik uang tunai dari ATM bisa menjadi cara paling mudah untuk mendapatkan dolar Taiwan ketika Anda tengah berada di sana.

Oleh: Matthew Mendehlsohn

Labels: