Cerita Masa Lampau Gunung Tangkuban Perahu

Dengan mengarahkan kendaraan ke utara Bandung menyusuri jalan Setiabudhi melalui Lembang dan susuri jalan yang semakin menanjak dan berkelok, kita akan menemui sebuah daerah wisata, Daerah wisata alam yang sangat terkenal di Kota Bandung, Gunung Tangkubanparahu (tangkuban/tangkub = tertelungkup; parahu =perahu).

Gunung ini pastinya dinamai oleh orang-orang yang berada di sebelah selatan gunung (yaitu Bandung). Karena bentuk gunung sepertu perahu telungkup dapat dilihat dari arah selatan gunung itu saja.

Di puncak Gunung yang semula dikenal dengan nama Gunung Parahu ini terdapat kawah besar bernama Kawah Ratu. Para pelancong biasanya menjadikan kawah ini sebagai tujuan utama berwisata ke Gunung Tangkubanparahu dibanding kawah-kawah kecil lain yang ada. Dengan memarkir kendaraan tepat dibibir kawah dan menikmati alam yang ada, akan terlintas dibenak kita betapa dahsyatnya ledakan yang terjadi dimasa itu sehingga terbentuk sebuah kawah yang luar biasa besarnya.

Gunung ini yang selalu dikaitkan dengan cerita masyarakat “Legenda Sangkuriang” karena konon katanya menurut legenda gunung ini tercipta dari sebuah perahu yang ditendang oleh seorang yang sakti yang sedang gusar bernama “Sangkuriang” yang hidup di pertengahan Jaman Holosen (11.000 tahun yang lalu) sampai perahu itu terbalik (tertelungkup) dan membentuk sebuah gunung.

Nah kok kenapa marah-marah sampai nendang perahu sih Kang...? Cerita legenda ini memang menarik untuk dibicarakan, namun eitss... kita sekarang lagi bahas sejarah gunung ini secarha ilmiah dulu. Cerita legenda Sangkuriang bisa dibaca di artikel lain di situs kita tercinta ini.

Kata mereka yang ahli di bidang geologi, gunung ini paling tidak penah mengalami erupsi besar setidaknya sebayak 3 kali yang megguyur bandung utara dengan lava dan abu. Menurut mereka juga salah satu dari kejadian letusan dahsyat gunung ini pernah menutup dan membendung aliran Sungai Citarum sehingga terciptanya Telaga Bandung.

Telaga Bandung? Apaan lagi tuh?

Material letusan Gunung Tangkubanparahu diyakini menjadi “tersangka utama” dalam peristiwa terendamnya Bandung oleh air sehingga menjadi sebuah danau (telaga), yang dikenal sebagai Telaga Bandung.

Kok bisa ya? Begini ceritanya... Bandung merupakan dataran yang dikepung oleh dataran yang lebih tinggi dan gunung sehingga menyerupai cekungan. Seperti sebuah mangkuk, bila kita memasukkan air ke dalamnya, air itu akan tersimpan/terperangkap dalam mangkuk tersebut.

Di Bandung terdapat sungai yang besar sebagai pembuangan air yang dialirkan ke utara sampai Laut Jawa. Apa yang terjadi bila aliran ini tersumbat? Air akan terperangkap di cekungan Bandung, semakin banyak dan merendam Bandung.

Bila melihat terjadinya peristiwa “Sangkuriang”, maka gunung ini sudah berdiri tegak sebalum terciptanya Telaga Bandung. Kalau begitu, kapan sih Telaga Bandung ini tercipta?

Sejarah Gunung Tangkuban Parahu
Gunung Tangkubanparahu dalam catatan sejarah geologi dipastikan telah mengalami tiga kali letusan hebat. Pada 6000 tahun yang lalu terjadi erupsi besar kedua dengan kegiatan vulkanik yang sangat dahsyat yang memuntahkan abu dan lava. 

Sebagian muntahan gunung yang mengandung jutaan kubik material tersebut menutup jalur aliran Sungai Citarum Purba pada waktu itu sehingga aliran air yang seharusnya terbuang ke laut jawa menjadi tertahan di dataran Bandung

Mengapa ya air tersebut bisa tertahan di sebuah area yang berupa dataran, padahal Bandung kan tergolong dataran tinggi?! Peristiwa ini karena Bandung merupakan dataran yang dikepung oleh dataran yang lebih tinggi dan gunung-gunung, sehingga menyerupai cekungan. Dalam cekungan Bandung inilah air tersebut terperangkap tak mendapat jalan keluar sehinnga membentuk danau yang luar biasa besarnya yang dikenal dengan Telaga Bandung atau Situ Hiang(situ=danau).

Menurut para ahli, katanya peristiwa catastropic letusan Gunung Tangkuban Parahu disaksikan oleh manusia purba penghuni dataran tinggi utara Bandung pada Jaman itu. Dapat dibayangkan betapa paniknya manusia purba pada waktu itu melihat alam sekelilingnya yang tiba-tiba berubah dan tenggelam dalam air. 

Lain cerita, sebenarnya ada juga pendapat yang lain yang menyatakan bahwa penyebab tersumbatnya aliran Sungai Citarum purba pada saat itu adalah material letusan Gunung Burangrang. Tetapi, setelah terjadi letusan pada tahun 1982, para peneliti lebih meyakini bahwa penyebabnya adalah letusan Gunung Berapi dengan melihat arah material yang jatuh ternyata memang mengarah ke Sungai Citarum. 

Sekedar untuk menggambarkan mengenai seberapa luas Telaga Bandung ini. Luas Dataran Tinggi Bandung yang dahulu pernah menjadi Situ Hiang terbentang dari Cicalengka (di timur) sampai Padalarang (di barat) sejauh + 50 km. Dari Bukit Dago (di utara) sampai perbatasan Soreang-Ciwidey (di selatan) sejauh + 30 km. Kalau dihitung mungkin tiga kali luas DKI Jakarta. Perbedaan mengenai panjang dan lebar Telaga Bandung mungkin berbeda-beda dari berbagai sumber karena danau itu sendiri bentuknya tidak berbentuk bulat atau kotak melainkan sisinya dapat dikatakan tidak rata/tidak beraturan. 

Ketinggian permukaan air danau menurut para ahli mencapai 725 meter di atas permukaan air laut. Menakjubkan bukan...?! Adapun “garis pantai“ Telaga Bandung saat ini adalah terletak disekitar Jalan Siliwangi, sebelah utara Sasana Budaya Ganesha – ITB. 

Untuk menggambarkan kedalaman air danau pada waktu itu. Kita dapat berdiri di Stasuin Bandung dan membayangkan bahwa kita tenggelam sedalam 25 meter dari permukaan air. Atau dengan berdiri di Alun-alun Kota Bandung dan berimajinasi untuk mengambil nafas ke permukaan air kita harus berenang vertikal sejauh 30 meter. Wow... Eungap! (sesak nafas). 

Dahulu diyakini dilangit Kota Bandung ini, hilir mudik perahu-perahu manusia purba yang tinggal dipesisir danau. Sekarang kita hidup berdesak-desakan di dasar danaunya. 

Sampai pada 3000-4000 tahun yang lalu mulai tercipta retakan atau jalan keluar untuk air danau ini yang terletak di sebelah barat Batujajar (daerah Cimahi). Pintu air yang tercipta karena limpahan air danau ini dikenal dengan nama “Sanghyang Tikoro”.  

Lama kelamaan air Telaga Bandung menjadi surut dan kering. Namun pastinya tidak surut semuanya melainkan ada beberapa wilayah yang masih terendam air yang menjadi rawa, danau kecil. 

Sampai saat ini, bila kita jalan-jalan di Bandung kita menemukan nama daerah dengan awalan “Ranca”: Rancaekek, Rancamanuk, Rancaoray, karena dahulunya adalah rawa (Ranca=rawa). Atau nama Ujung Berung (ujung=tanah yang menjorok ke perairan), sama halnya seperti Ujung Kulon. Atau kata “Tanjung”: Tanjungsari dan Tanjungjaya yang dulunya bekas tepian Telaga Bandung. 

Pernahkah ada manusia pada jaman purba itu membayangkan bahwa di dasar danau yang gelap gulita jauh di kedalaman di bawah mereka suatu saat akan ditinggali oleh manusia, dibangun rumah, mall, jalan raya dan gedung-gedung tinggi seperti sekarang ini? 

Atau sebaliknya... Pernahkah manusia pada jaman sekarang ini membayangkan bahwa jalan raya yang mereka lalui, rumah yang mereka tinggali, kantor tempat mereka bekerja, daerah wisata tempat mereka rekreasi, dahulu merupakan dasar danau yang gelap gulita di bawah kedalaman air, di mana di atasnya ada manusia purba yang hilir mudik menaiki sampan?

Labels: , , , , ,