Tarian Bon Odori-Berpesta Bersama Arwah Leluhur di Tokyo

Halo sahabat Pagguci, Jepang yang dikenal sebagai negara yang berkembang pesat di bidang teknologi dan otomotif ini juga dikenal sebagai negara yang inovatif serta memiliki ragam budaya yang tidak kalah unik dengan negara kita Indonesia. Oleh karena itu, maka Tarian Bon Odori ini juga termasuk budaya unik di negri bunga sakura ini. Apa sih Tarian Bon Odori itu? apa menariknya? dan seperti apa kemeriahan tarian yang sering diadakan pada setiap tanggal 15 Agustus ini? yuk simak kisah yang ditulis oleh "Tyas Palar".

Bunyi genderang di tabuh bertalu-talu terbawa angin sampai ke telinga saya yang sedang duduk nyaman di dalam kereta Jalur Chuo, salah satu jalur kereta paling sibuk di Tokyo Raya. Keramaian tak terduga itu membuat kepala saya tertoleh ke luar jendela kereta. Di luar sana, seolah mengambang di udara, terlihat pendar kekuningan berderet-deret lentera.

Saya melirik nama stasiun tempat kereta sedang berhenti. Higashi-Koganei. Tanpa pikir panjang, terpikat oleh bebunyian ritmis di udara, saya melompat turun dan memutuskan untuk mengikuti saja ke arah orang paling banyak bergerak. Logikanya, tentu mereka sedang menuju pusat keramaian, bukan?

Kendati sudah menjelang malam, udara wilayah Kanto termasuk Tokyo yang memasuki pertengahan musim panas terasa gerah. Musim panas adalah saat yang pas untuk berkeliaran dengan pakaian tradisional Yukata yang terbuat dari katun sejuk, berkumpul bersama banyak orang untuk tidak hanya merayakan musim panas, tetapi juga menghormati leluhur melalui tarian massal Bon Odori.

Menjelang perayaan obon, makam dan altar dibersihkan dan dirapikan. Ini adalah sebuah arca jizo, yang melindungi arwah anak-anak.

Saya membiarkan diri terbawa arus manusia yang beramai-ramai menuju lapangan luas yang letaknya tidak begitu jauh dari stasiun kereta. Sejumlah lentera menghiasi gapura, menyambut tamu-tamu yang datang. Dengan kemampuan bahasa Jepang pas-pasan, saya membaca huruf-huruf hitam yang tertera di masing-masing lentera: Tempat Bon Odori. Ah, saya tiba di tempat yang benar.

Begitu melangkah masuk ke area lapangan, perhatian saya langsung tersita oleh lentera-lentera kertas yang tergantung di tali-temali yang direntangkan di atas kepala. Tali-temali yang berseliweran itu memusat di sebuah panggung besar dengan beberapa tingkat. Panggung tersebut, dinamakan yagura, menjadi titik pusat bagi bon odori. Ketika saya tiba, beberapa kelompok alat musik tabuh sedang memamerkan kebolehan mereka membawakan lagu-lagu tradisional di sekitar yagura. Mereka bergantian tampil dengan sejumlah kelompok tari dan bahkan band yang membawakan musik pop.Namun tarian puncak belum dimulai.
Tarian Bon Odori di Tokyo
Bon odori adalah tarian yang diiringi hentakan genderang dan mungkin juga bunyi berbagai alat musik tradisional lainnya: riuh dan meriah. Tidak seperti bayangan kita, mungkin, mengenai seperti apa seharusnya kita menari untuk menghormati leluhur. Namun inilah tarian penghormatan terhadap leluhur versi Jepang dari festival yang luas dikenal sebagai ‘Festival Arwah Kelaparan’ di Cina. Keriaan dan tarian adalah cara menghibur arwah leluhur yang diundang untuk kembali ke alam fana satu kali dalam setahun.

Di banyak daerah, tarian bagi arwah leluhur, Bon Odori, diselenggarakan bersama-sama festival musim panas yang menjadi ajang keluarga dan sahabat bercengkerama.

Obon dirayakan pada tanggal berbeda-beda di berbagai daerah di Jepang selama Juli dan Agustus. Sebagian orang akan mengambil cuti dan pulang ke kampung halamannya saat perayaan obon untuk membersihkan makam leluhur dan melaksanakan rangkaian upacara obon. Ada beberapa tahap, yang dimulai dengan mengundang arwah leluhur untuk pulang ke alam fana dan diakhiri dengan mengirimkan mereka kembali ke alam baka. Nah, yang saya saksikan di lapangan dekat stasiun Higashi-Koganei alias HigaKo malam itu adalah puncak perayaan, yang akan ditutup dengan bon odori. Walaupun ramai, festival di HigaKo itu tergolong kecil dibandingkan sejumlah festival obon lain. Obon di Tokushima, contohnya, konon sampai menarik sejuta wisatawan setiap tahunnya.

Akan tetapi, sebelum Bon Odori dan peluncuran kembang api dilaksanakan, ada banyak hiburan lain dan tentu saja... stan-stan makanan! Berbagai makanan yang identik dengan festival rakyat di jajakan oleh deretan stan di tepi lapangan. Mulai dari ikayaki (cumi bakar), yakisoba (mi goreng), banana choco (pisang beku yang dicelupkan ke cokelat cair yang lantas mengeras), kyuri (ketimun), semangka, dan masih banyak lagi.
Para penari Bon Odori berputar-putar mengelilingi panggung bersusun yang disebut yagura
Sebagian besar lapangan dibiarkan terbuka, tidak tertutup stan atau pun panggung. Hadirin bebas menggelar tikar untuk duduk santai bersama-sama keluarga dan teman. Saya tidak membawa tikar, namun rumput lapangan bersih dan halus, membuat saya tidak segan duduk untuk menyaksikan pertunjukan dari kejauhan. Lama-kelamaan, saya bahkan keenakan, dan memutuskan untuk merebahkan diri di rumput, dengan ransel sebagai pengganti bantal. Travel never felt so good: berbaring di rerumputan yang empuk, memandang langit kelam dengan sedikit bintang di kejauhan, dan lentera-lentera yang bersinar terang di atas kepala, membiarkan telinga di buai irama tetabuhan dan kulit dibelai semilir angin.

Dan ah, itu dia: aba-aba telah diberikan. Bon odori puncak akan dimulai. Dalam bayangan saya, tarian tradisional sudah tidak banyak peminatnya dan hanya orang tua yang akan turut menari. Tanpa dinyana, tua-muda, lelaki-perempuan, berpakaian tradisional ataupun tidak, bergegas-gegas berkerumun di sekeliling yagura. Begitu musik dimulai, mereka pun serentak menari, sambil berjalan mengitari yagura. Tak semua yang turun menari hapal dengan gerakan-gerakannya, terutama anak-anak. Namun tak perlu khawatir ataupun malu, akan selalu ada orang yang berperan sebagai ‘pemimpin tari’. Mereka mengenakan pakaian tradisional dan tampak yang paling hapal gerakan tarian demi tarian. Setiap kali lagu berganti, gerakan pun berganti pula. Banyak gerakan tarian yang sepertinya meniru aktivitas para petani, sesuai kondisi HigaKo yang tadinya merupakan kawasan pedesaan sebelum di rengkuh oleh Tokyo Raya.

Yukata yang dikenakan dalam festival musim panas terbuat dari bahan yang tidak membuat gerah, serta tidak mengganggu gerak peserta festival.

Para penari terus berputar mengelilingi yagura sesuai irama. Pusaran manusia itu terasa mistis: yagura bagaikan pusat dunia bagi manusia hidup maupun arwah yang telah berpulang. Ah, apakah arwah para leluhur pun sedang ikut menari saat ini, girang karena kembali bisa berdekatan dengan sanak-saudara mereka yang masih hidup, bahagia karena mereka tidak terlupakan?

Ketika akhirnya tarian terakhir rampung, pembawa acara mengumumkan bahwa sekarang tiba saatnya meluncurkan kembang api ke udara. Di tempat-tempat lain, obon diakhiri dengan melarungkan lentera ke sungai atau laut—untuk daerah-daerah yang berada di dekat air mengalir—atau kegiatan-kegiatan lain yang melibatkan api. Api berperan sebagai pemandu bagi para leluhur dalam menempuh perjalanan kembali ke dunia mereka.
Lentera bukan sekadar peramai suasana, melainkan juga sebagai pemandu bagi arwah
Dengan bunyi berdesis-desis, kembang api susul-menyusul meluncur ke udara, meledak dan menyumbangkan keindahan detik-detik terakhir kehidupannya kepada kerumunan manusia yang sebentar-sebentar berdecak kagum. Saya menengadah menikmati pemandangan indah itu. Langit malam menjadi terang.

Kembang api terakhir mekar di udara, dan berakhirlah festival tersebut untuk tahun ini. Semua orang bertepuk tangan. Puas, gembira. Berangsur-angsur mereka meninggalkan tempat pelaksanaan acara, sambil tertawa dan mengucapkan, “Otsukaresama deshita terima kasih atas kerja kerasnya.” Tahun ini pun para leluhur telah dihormati, keluarga, sahabat, dan tetangga telah berbaur dengan riang. Jalinan masa lalu dipererat dengan masa kini, dan juga masa depan.
Lentera padam satu per satu.
Oleh: Tyas Palar

Labels: