Gunung Cikuray Tempo Doeloe-Sejarah Perang Zaman Belanda & Kisah Pemujaan

Tempo dulu Gunung Cikuray di sebut dengan Srimanganti yang merupakan gunung dengan kerucut paling besar diantara gunung lainnya yang ada di Garut. Gunung Cikuray yang berada di perbatasan kecamatan Bayongbong, Cikajang, dan Cilawu Dayeuh Manggung, Garut, Jawa Barat ini memiliki ketinggian sekitar 2.818 Mdpl dan merupakan gunung tertinggi keempat di Jawa Barat setelah Gunung Gede. Wilayah  Gunung Cikuray hingga saat ini masih melekat ikon bersaudara ­dengan sejumlah unit perkebunan teh yang berada di kaki gunung, termasuk Perkebunan Teh Dayeuhmanggunag. Di megahnya gunung yang menjulang tinggi, kawasan Gunung Cikuray pun menyimpan sejarah ­semasa zaman perang kemerdekaan ­Indonesia tahun 1947-1949 lalu.

Dalam catatan sejarah yang dikumpulkan dari Perpustakan Pusat ­Dinas Sejarah (Disjarah) TNI-AD di Jalan Kalimantan Bandung, Nationaal Archief Belanda, dan Konklijke Bibliotheek Belanda, kawasan kaki Gunung Cikuray pun menjadi salah satu area konflik pihak Indonesia dengan Belanda pada tahun 1947-1949.Tentara Nasional Indonesia (TNI) melanjutkan perlawanan melalui pe­rang gerilya dari hutan dan perkampungan Gunung Cikuray. Perkebunan Dayeuhmanggung dan Perkebunan Juliana ke­mudian dikuasai pasukan Belanda dan kembali dikelola Firma Tiedeman & van Kerchem. 

Ada hal unik dalam catatan ketika di Gunung Cikuray tersebut, ada sebagian anggota pasukan TNI Batalion (Yon) 32/­Garuda Hitam terlibat praktik klenik alias mistis. PASUKAN Belanda berkemah di dekat pabrik teh Perkebunan Dayeuhmanggung yang sudah rusak, Juni 1948. Walau sejumlah tentara yang mela­kukan klenik itu berdalih dipergunakan untuk mengalahkan pasukan Belanda, namun komandan Yon 32/Garuda Hitam yaitu Kapten Rivai tetap melarang keras karena merupakan sesuatu jalan keliru. Kisah ini terjadi beberapa hari menjelang Perjanjian Renville, 17 Januari 1948, atau jika dihitung tahun 2018 ini sudah 70 tahun lalu. 

Kisah mistik di Gunung Cikuray ini ditulis­kan oleh Kolonel Purna­wira­wan TNI, Mohamad Rivai pada me­moarnya berupa buku Tanpa Pamrih, ­Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Intermasa Jakarta tahun 1984, yang disimpan di Perpustakaan Pusat ­Disjarah TNI-AD.  Menurut Mohamad Rivai, saat dirinya masih berpangkat kapten pada pertengahan Januari 1948, Gunung Cikuray menjadi daerah gerilya pasukan TNI Yon 32/Garuda Hitam yang ia pimpin dalam melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda pasca-Agresi Militer I ”Operasi Produk” 21 Juli-5 Agustus 1947. 

Gunung Cikuray dikenal sebagai lokasi angker dan oleh sebagian orang dianggap keramat, serta banyak peristiwa aneh yang tak masuk akal secara ilmiah. Namun nyatanya, terjadi dialami 30 orang tentara anggota batalion bersangkutan yang nekad mencoba-coba praktik klenik. Kapten Rivai sudah mengingatkan kepada pasukannya bahwa dalam Alquran juz 3 Surat Ali Imran, ditegaskan, dalam agama Islam, umatnya dilarang melakukan mistik, seperti pemujaan kepada kuburan-kuburan tua atau benda-benda sakti untuk meminta sesuatu kepada makhluk halus jin. Akan tetapi, ada sebagian tentara pasukan Batalion 32/­Garuda Hitam yang mem­bandel dan nekad melakukan jalan sesat, melakukan pemujaan kepada makam Eyang Soero­pandji dan sebuah batu besar di Gunung Cikuray. 

Apa yang dicari oleh sejumlah tentara Batalion 32 itu, disebutkan, adalah ”rotan wulung” dan sebentuk cincin yang bernama ”cincin wulung”, yang diyakini tersembunyi di makam Eyang Suropandji dan makam istrinya di Gunung Cikuray. Konon, barang ­siapa yang memiliki kedua benda itu, akan menjadi kuat, termasyhur, kebal peluru dan aneka segala bentuk racun, dll. Beberapa hari menjelang Perjanjian Ren­ville, sebanyak 30 tentara pasukan Yon 32/­Garuda Hitam melakukan pemujaan pada malam Jumat. Setelah komat-kamit membacakan mantera, mereka kemudian kesurupan massal. Kapten Rivai yang kemudian mendapat laporan atas kelakuan sebagian anak buahnya itu, bergegas ke lo­kasi dan menyaksikan kejadian mengeri­kan. 

Disebutkan, dalam kesurupan ­massal itu, dilakukan upacara pemanggilan arwah de­ngan diyakini menghadirkan roh Teuku Umar, Imam Bonjol, Diponego­ro, dll, ­untuk ditanyai petunjuk mengalahkan pasukan Belanda. Pada kejadian lain, sedang hebat-he­batnya 30 orang pe­laku mistik itu kesu­rupan massal, Kapten Rivai langsung menendang betis pimpinan kelompok kesurupan sehingga semuanya menjadi sadar kembali. Melihat kondisi itu, menurut Rivai, diri­nya kemudian marah besar apalagi kegiatan mistik dinilai membahayakan bagi perjuang­an pihak Indonesia. Ia kemudian mengancam akan menembak mati anak buahnya ­jika ada yang melanjutkan praktik mistis. 

Kejadian aneh di gubuk
Disebutkan, di antara 30 orang tentara tersebut masih ada pula yang membandel tak mau menuruti larangan klenik, yaitu Let­da Achmad Ronotirto.  Alasannya, ia mem­peroleh bisikan dari Eyang Soero­pandji saat sedang di makamnya dan merasa dikelilingi banyak bidadari, tetapi akan dijadikan wadal demi kemenangan atas Belanda. 
ACHMAD Ronotirto menuju makam Eyang Soeropandji di Gunung Cikuray.
Singkat cerita, demi menyelamatkan anak buahnya itu, Kapten Rivai akhirnya me­nuruti saran sang kuncen makam Eyang Soero­pandji. Dari semula syaratnya adalah kambing hitam, madat, tetapi akhirnya ha­nya diminta segelas kopi dan lisong (rokok yang tembakaunya dicampur menyan dan kelembak/tumbuhan pewangi).

Diceritakan, malam Jumat, kopi dan li­song itu diletakan dalam sebuah gubuk de­kat makam Eyang Soeropandji ketika sang kuncen membaca mantera memanggil yang dimaksud agar mengambil sesajen itu. Tiba-tiba dinding saung gubuk itu kemudian bergoyang-goyang, lalu mun­cul dua makhluk berbadan tegap tinggi menyerupai laki-laki dan perempuan.

Baca Juga: Sejarah Gunung Cikuray Pertapaan Para Pendeta

Melihat kejadian itu, orang-orang yang sedang dalam gubuk itu (yang dimaksud adalah sejumlah tentara termasuk Kapten Rivai dan sang kuncen), kemudian berlarian berhamburan. Sedangkan kedua makhluk aneh tersebut mengambil kopi dan lisong yang disesajikan, lalu cepat menghilang.

Sepekan kemudian, Achmad Ronotirto kemudian sadar dan sembuh. Sebe­lumnya, tampilannya sudah seperti orang gila. Kejadian itu, dalam catatan Kapten ­Rivai, terbukti atas larangan yang ditetapkan Allah dalam Alquran, bahwa umat Islam dilarang ”bersahabat” dengan setan. 

Sementara itu, di kaki Gunung Cikuray pula, data dari Nationaal Archief Belanda nomor arsip 5909 menyebutkan, pada Juni 1948 pasukan Belanda memasuki dan menduduki Perkebunan Dayeuhmanggung dan Perkebunan Juliana mendapati pabrik teh dalam kondisi sudah dirusak. Pasukan Belanda menjaga pihak perusaha­an mem­bangun kembali pabrik teh Perkebunan Dayeuhmanggung.

Surat kabar Trouw terbitan 24 April 1948, memberitakan, Perkebunan Dayeuhmanggung kondisi tanaman tehnya rata—rata sudah kurang terurus. Upaya memulih­kan kembali produksi teh di Perkebunan Dayeuh­manggung dan Perkebunan Juliana menjadi sulit. Begitu pula banyak bangun­an dan rumah di emplasemen di Perkebun­an Dayeuhmanggung, kata berita itu, rata-rata sudah mengalami kerusakan berat diduga sengaja dihancurkan. 

Lain halnya pabrik teh Perkebunan Julia­na, sudah dihancurkan sejak masih ada pasukan Jepang, namun kerusakannya tergolong sedikit. Sejumlah komponen atau bahan-bahan dari pabrik teh Juliana, kemudian dipindah­kan untuk membuat pabrik teh baru di Perkebunan Dayeuhmanggung.

Trouw pada 20 April 1949 memberita­kan, pabrik teh Perkebunan Dayeuhmanggung kembali dibuka pada 9 April 1949, oleh perusahaan induknya, Firma Tiedeman & van Kerchem. Upacara pembukaan kembali pabrik teh Perkebunan Dayeuhmanggung tersebut dipimpin istri patih Garut.

Kembali kepada kisah Kapten Rivai bersama Yon 32/Garuda Hitam, pada 28 September 1983 dirinya melakukan napaktilas ke lokasi yang dahulu pasukannya ber­ada. Saat napak tilas, tiga anggota tim napak tilas, diantaranya ES Sulaeman, Edi ­Saputra, dan R Yarso, melalui rute melalui Perkebunan Dayeuhmanggung yang saat itu sudah dikelola PT Perkebunan XIII (persero).

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2018/02/11/kisah-gunung-cikuray-garut-di-masa-perang-yang-mistik-dan-yang-heroik-419309

Labels: , , ,